Rabu, 21 Mei 2014

DOUWES DEKKER, MARGONO DAN ISLAM





Oleh Tarli Nugroho
Peneliti di Mubyarto Institute; Ketua P2M (Perhimpunan Pendidikan Masyarakat), Yogyakarta


Pada 8 Oktober 1949, bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-70, di rumahnnya di Jl. Lembang 410, Bandung (kini menjadi Jl. Dr. Setiabudi), Dr. Douwes Dekker menerima telegram dari Presiden Soekarno. Sebagai Presiden Republik Indonesia, mewakili seluruh anak bangsanya, Bung Karno mengucapkan terima kasih atas perjuangan dan jasa-jasa Dr. Douwes Dekker bagi kemerdekaan Indonesia.


“Atas nama seluruh bangsa kita saya turut menyatakan terima kasih yang memenuhi hati kami untuk segala apa yang telah Saudara lakukan dan korbankan demi tanah air dan bangsa kita dengan kesetiaan yang tidak pernah luntur. Kami menganggap dan menyambut Saudara sebagai Bapak dari Politik Nasionalisme Indonesia.”


Telegram itu membuat air mata pendiri Indische Partij ini mengalir. Atas telegram ini pula, puluhan surat kabar dari seluruh Indonesia kemudian memberikan penghormatan kembali yang meriah kepada suami dari Ny. Harumi Wanasita ini, yang di masa mudanya juga merupakan jurnalis yang teguh mempropagandakan kemerdekaan.

Sebagai balasan kepada Soekarno, Dr. Douwes Dekker, yang kemudian berganti nama menjadi Dr. Danudirdja Setiabudi, menulis surat ini:


“Presiden kami,

Saya tidak tahu bagaimana saya akan menyapa Yang Mulia. Cara resmi akan menjauhkan saya dari Yang Mulia. Cara biasa saya anggap terlalu mudah untuk hadiah yang begitu besar yang saya terima dari Yang Mulia dalam tilgram tertanggal 6 yang lalu. Bagaimanapun juga kekakuan birokrasi adalah dalam hal ini cara yang tepat. Dengan jalan ini saya sampaikan, bagaimana tergoncangnya hati dan tekanan rasa pusing membuat saya terjatuh dan untung tersanggah oleh daun pintu. Waktu saya untuk yang kedua kalinya membaca berita kawat itu, air mata mulai mengalir.”


Fragmen itu saya baca dari buku “Dr. E.F.E. Douwes Dekker” yang ditulis oleh Margono Djojohadikusumo (Djakarta: Bulan Bintang, 1975). Buku ini merupakan terjemahan, karena aslinya buku ini ditulis dalam bahasa Belanda, “Notities uit Vergeelde Papieren Dr. E.F.E. Douwes Dekker, de Onverzaagde Drager van een Levens-Ideaal: De Politieke on Afhankelijkheid van Indonesie”.

Tak berlebihan jika Bung Karno menyebut bahwa Douwes Dekker adalah “Bapak Politik Nasionalisme Indonesia”. Dalam kenyataannya, Bung Karno memang sangat hormat kepada tokoh pelopor pergerakan nasional tersebut. Bahkan, pada suatu kesempatan, ia pernah mengatakan bahwa apa yang telah dicapainya dalam politik tidak pernah lebih tinggi dari lututnya Dr. Setiabudi.

Margono Djojohadikusumo, yang mengenal dengan baik Dr. Douwes Dekker, menulis buku ini dengan penuh kekaguman. Sebagai gambaran, naskah buku ini diselesaikannya pada tanggal 16 Mei 1974, tepat ketika Margono berulang tahun yang ke-80. Bisa dibayangkan bagaimana seorang berusia 80 tahun masih berusaha menulis buku yang didedikasikan untuk mengenang sahabatnya. Bukan hanya itu, Margono, di bagian akhir bukunya, menulis bahwa buku ini juga sesungguhnya dipersembahkan untuk menyambut Hari Kebangkitan Nasional, 20 Mei 1974. 




Ketika membaca kembali pengantar Mohammad Roem untuk buku ini, saya jadi diingatkan ihwal hubungan antara keluarga Margono dengan keluarga H. Agus Salim. Pada masa kolonial, di Salemba, yang merupakan kawasan permukiman elite, Margono secara rutin mengadakan pengajian dan pelajaran agama untuk anak-anaknya dan anak-anak kawannya, yang juga diikuti oleh anak-anak di kawasannya, termasuk juga para ibu-ibunya. Menurut Margono, pelajaran agama itu penting bagi anak-anak, terutama bagi para pelajar yang sekolah dimana pelajaran agama sama sekali tidak diberikan di dalamnya. Malah, menurut Margono, sekolah-sekolah yang ada pada zaman itu memiliki tendensi untuk menjauhkan anak-anak dari agama.

Pengajian sebagaimana yang diadakan oleh keluarga Margono pada zaman itu, dalam pandangan Roem, yang juga telah mengenal Margono sejak masa kolonial, adalah sesuatu yang tidak lazim pada masanya. Apalagi mengingat bahwa keluarga Margono adalah keluarga intelektual dan elite, yang pada masa itu identik dengan cara pandang sekuler. Karena merupakan pengajian kaum elite, maka ceramah dan pelajaran agama yang diberikan pun dilakukan dalam bahasa Belanda. Tokoh yang sering diundang ceramah di rumah keluarga Margono adalah H. Agus Salim.

Menurut Roem, keberanian Margono untuk mengundang Agus Salim mengisi acara-acara di rumahnya juga merupakan hal yang istimewa. Mengingat, pada masa itu Agus Salim adalah tokoh politik yang tidak disukai oleh pemerintah kolonial, sehingga banyak orang merasa takut untuk berhubungan dengannya. Namun tidak demikian halnya dengan Margono, meskipun Margono sendiri adalah seorang birokrat dalam pemerintahan kolonial, yaitu merupakan Inspektur Koperasi. Roem sendiri sering ikut H. Agus Salim dalam pengajian-pengajian yang diadakan di rumah Margono itu.

Dalam buku “Cendekiawan Islam Zaman Belanda” (1990), yang ditulis Ridwan Saidi, Agus Salim merupakan pelopor dalam penyiaran Islam secara modern. Ia adalah orang pertama yang berani menuliskan naskah khutbah Jumat dalam huruf latin berbahasa Belanda, yang itu dimuat dalam surat kabar yang dikelolanya, sekaligus berani memberikan terjemahan bahasa Belanda atas ayat-ayat al Quran, yang pada masa itu masih dianggap “terlarang” oleh sebagian ulama.

Relasi antara Margono, Agus Salim dan Roem ini menurut saya menarik. Agus Salim berusia sepuluh tahun lebih tua dari Margono, dan Roem berusia empat belas tahun lebih muda dari Margono. Roem kelak menjadi salah satu tokoh Masyumi, sementara keluarga Margono, terutama melalui Sumitro Djojohadikusumo, salah satu anaknya, merupakan penyokong dari dan menjadi tokoh di PSI. Relasi antara PSI dengan Masyumi pasca-Proklamasi, selain karena kedua partai itu sama-sama banyak disokong oleh kaum terpelajar, juga karena relasi interpersonal di antara elite-elitenya. Sjafruddin Prawiranegara, misalnya, yang merupakan salah satu tokoh Masyumi, oleh Sjahrir pernah dianggap sebagai salah satu “murid terbaiknya”, meskipun Sjafruddin enggan memilih PSI yang dipimpin Sjahrir sebagai wadah politiknya. Agus Salim sendiri, meskipun bukan orang Masyumi, merupakan tokoh Islam yang dihormati oleh Masyumi. Dan meskipun pasti bukan tokoh PSI, ia adalah kerabat sepuhnya Sjahrir.




Ketika Selasa (20 Mei 2014) kemarin Prabowo Subianto Djojohadikusumo, yang merupakan cucu Margono, melakukan “ziarah politik” di antaranya ke makam Sutan Sjahrir dan H. Agus Salim, saya melihat bahwa pilihan makam yang diziarahi itu mewakili simbol ideologis dan historis tertentu. Secara historis dan ideologis, tentu saja ziarah ke makan Sjahrir itu dilakukan karena Prabowo berasal dari keluarga PSI. Sumitro, ayahnya, bahkan pernah mengalahkan Sjahrir dalam kongres PSI sebelum Pemilu 1955, yang sempat melahirkan keretakan di tubuh PSI, karena pada akhirnya posisi Sjahrir sebagai ketua partai tetap dipertahankan.

Sementara, ziarah ke makan H. Agus Salim, selain karena secara historis keluarga Djojohadikusumo memiliki relasi sejak lama dengan Pahlawan Nasional tersebut, ziarah itu secara politis juga bermakna bahwa koalisi politik yang sedang dibangun oleh Prabowo dan partainya dengan sejumlah partai Islam saat ini, bisa dimaknai sebagai semacam reinkarnasi dari koalisi antara PSI dengan Masyumi di masa lalu, antara golongan "sosialis" dengan golongan "religius".

Bagaimana nasib koalisi ini nantinya? Yang jelas, dinamika politik tahun ini masih menarik untuk terus disimak.

Yogyakarta, 21 Mei 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar