Kamis, 01 Mei 2014

SOEKARNO, HANUNG DAN GIEBELS



Oleh Tarli Nugroho
Mantan penonton film 


Kemarin petang, Minggu, 5 Januari 2014, ditemani secangkir kopi dan sepotong roti pisang coklat, saya menyimak acara "Tea Time with Desi Anwar", yang kali ini berkunjung ke rumah dan mewawancarai Hanung Bramantyo. Saya telah membaca ulasan-ulasan kekecewaan mereka yang sudah menonton film "Soekarno" yang disutradarai Hanung, dan hanya bisa menebak-nebak, karena belum sempat menonton film tersebut. Makanya, petang kemarin, saya menyimak betul perbincangan dengan sutradara asal Yogya tersebut, untuk menambah gambaran agak lebih utuh mengenai ramai-ramai yang mengekor film tersebut.

Tentu saja, bagian yang paling saya tunggu adalah tanggapannya atas kritik yang diberikan beberapa pengamat dan sejumlah pihak atas film laris tersebut. Saya menduga Hanung akan bertahan pada interpretasinya mengenai Soekarno. Tak ada yang salah dan aneh dengan hal itu. Yang penting adalah apa argumennya atas interpretasinya yang banyak digugat orang itu. Dan argumennya betul-betul membuat saya terkejut. Dengan yakin Hanung mengatakan bahwa interpretasinya mengenai Soekarno pasti korek karena interpretasi itu sangat sesuai dengan fakta-fakta yang dikemukakan oleh buku Lambert J. Giebels. Bagi saya, pengakuan itu menjelaskan segalanya, termasuk kritik Salim Said bahwa film tentang Soekarno itu secara ironis malah justru lebih mengangkat figur Sjahrir daripada Soekarno sendiri.

Giebels, yang menulis buku "Soekarno: Nederlandsch Onderdaan, Biografie 1900-1950" (1999), adalah politikus Partai Buruh (Partij van de Arbeid) Belanda. Dalam kurun 1970-an hingga 1980-an, ia pernah tinggal di Indonesia sebagai konsultan di Departemen Pekerjaan Umum, yang juga digunakannya untuk melakukan riset mengenai Soekarno. Kalau kita membaca buku biografi Soekarno yang disusunnya, yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia tiga belas tahun silam, buku ini memang berhasil melakukan 'zoom in' terhadap kehidupan Si Bung, yang membuatnya seolah hadir sangat dekat dengan pembaca. Tetapi Giebels, sebagaimana halnya Antonie C.A. Dake, dan Victor Miroslav Fic, sejak lama dianggap sebagai para penulis yang tendensius. Joesoef Isak bahkan dengan keras menyebut karya ketiganya mengenai Soekarno sebagai "klinkklare onzin", atau "semurni-murninya omong kosong". Apa yang disebut sebagai "fakta" dan "informasi" dalam karya-karya mereka, menurut Isak, seratus persen adalah produk abstraksi benak mereka sendiri, namun abstraksi itu diperlakukan sebagai kenyataan yang serba benar.

Mungkin ada yang masih ingat tulisan Rosihan Anwar, "Perbedaan Analisa Politik antara Sukarno dengan Hatta", yang dimuat di Harian Kompas, 15 September 1980. Dalam tulisan yang memancing polemik hingga berbulan-bulan hingga kuartal pertama 1981 itu, Rosihan menggoreng sebuah isu yang terselip dalam buku John Ingleson, "Road to Exile: The Indonesian Nationalist Movement, 1927-1934" (1979), ihwal surat permohonan ampun Soekarno kepada pemerintahan kolonial sebelum dibuang ke Ende. Sumber yang dirujuk Ingleson adalah salinan surat-surat Soekarno di arsip pemerintah kolonial Belanda. Karena itu bukan surat-surat asli, banyak yang meragukan isinya. Beberapa tokoh dan pelaku sejarah menyebut hal itu sebagai rekayasa polisi rahasia pemerintah kolonial. Mohammad Roem, yang menyebut dirinya banyak berseberangan dengan Soekarno, dan bahkan pernah dipenjarakan Soekarno, tak urung ikut mempermasalahkan tulisan Rosihan itu dan mempertanyakan maksud di baliknya. Roem, setelah mengemukakan sejumlah data dan kesaksian, yang intinya membantah cerita yang diangkat Ingleson dan kemudian digoreng Rosihan, bahkan harus menulis lebih jauh, termasuk mempertanyakan kenapa dalam tulisan-tulisannya Rosihan selalu menulis Hatta lebih dulu daripada Soekarno, sesuatu yang ganjil bagi penulisan sejarah Indonesia, yang lazimnya mengenal"Soekarno-Hatta" sebagai sebuah frasa daripada sebaliknya. Menarik untuk memperhatikan, karangan-karangan Rosihan, bersama dengan terjemahan karya Dake dan Fic, yang semuanya diterbitkan oleh Yayasan Obor Indonesia, pada saat ini memang merupakan karya-karya tentang 1965 dan mengenai Soekarno yang paling mudah ditemui di toko buku dibanding buku-buku lainnya. Buku lainnya yang masih bisa dijumpai adalah karangan Bernard Dahm dan Onghokham. Dari kesemuanya, hanya karangan Ong yang bisa disebut “memberikan simpati” kepada Soekarno.

Ingleson, dalam sebuah konfirmasi yang diberikannya di Majalah Tempo, Maret 1981, mengklaim bahwa Hatta juga mempercayai kebenaran surat-surat Soekarno itu dalam sebuah perbincangan dengannya. Anehnya, Iding Wangsa Widjaja, sekretaris Bung Hatta, dengan tegas mengatakan bahwa Ingleson tidak pernah mewawancarai Hatta. Sejak 1964, menurut Wangsa, Bung Hatta tidak lagi memberikan wawancara kepada wartawan dan sarjana asing. Dalam buku agendanya, dan juga buku agenda kegiatan Hatta, dia tidak menemukan catatan bahwa Bung Hatta pernah diwawancarai Ingleson.





Ihwal surat permintaan ampun Soekarno kepada pemerintah kolonial Belanda ini menjadi salah satu tikungan dramatis dalam biografi yang ditulis Giebels. Dan persis pada bagian ini, dengan nada yang akan membuat kita merasa ganjil, dia kemudian mengetengahkan sosok Hatta dan Sjahrir, yang disebutnya sebagai tokoh yang lebih radikal daripada Soekarno. Mereka lebih berbahaya daripada Soekarno, demikian Giebels, karena keduanya merupakan didikan gerakan revolusioner Eropa!

Saya yakin Hanung sangat terpesona ketika membaca bagian ini pada buku Giebels, dan menganggapnya sebagai sebuah penemuan penting bagi dirinya. Saya bisa mengira demikian berdasarkan rekonstruksi dari sejumlah catatan yang ditulis oleh beberapa kawan yang sudah menonton film Soekarno. Sayangnya, Hanung saya kira tak berusaha mencari pembanding atas narasi yang disusun Giebels. Dan saya juga ragu dia memeriksa bagaimana posisi karya Giebels dalam hiruk-pikuk penulisan sejarah mengenai diri Soekarno, sebelum memutuskannya menjadi rujukan penting yang akurat bagi pembuatan filmnya. Dengan langsung merujuk kepada Giebels sebagai sanggahan atas kritik yang ditujukan kepada filmnya, sebagaimana yang disampaikannya dalam acara bincang-bincang dengan Desi Anwar petang kemarin, jelas terlihat bahwa Hanung memang alpa melakukan penilaian atas sumber yang dirujuknya. Dan, saya kira, ini adalah penjelasan masuk akal atas semua kritik yang telah dituliskan mengenai film Soekarno yang dibuatnya.

Meski berhasil menggali sisi-sisi kemanusiaan Soekarno, buku Giebels memang harus dianggap tendensius. Selain mengangkat soal surat permintaan ampun yang kontroversial itu, Giebels juga menulis bahwa Soekarno membuat kesepakatan dengan seorang agen rahasia Belanda pada masa revolusi. Intinya, Soekarno setuju Belanda tetap menjajah Indonesia, melalui pemerintahan yang dipimpin oleh Gubernur Jenderal, asalkan Soekarno ditunjuk menjadi perdana menteri.





Selain tendensius, alur narasi yang disusunnya kadang memang menggelikan, yang tidak jarang malah melemahkan konstruksi yang sebetulnya ingin ditonjolkannya. Dalam uraian mengenai surat-surat Soekarno, misalnya, yang dia gunakan untuk mempertentangkan dan mengkontraskan pribadi Soekarno di satu sisi dengan Hatta-Sjahrir di sisi yang lain, narasinya juga menggelikan. Setelah ia menyebut bahwa Hatta dan Sjahrir jauh lebih radikal dan lebih berbahaya daripada Soekarno, yang telah dibuang ke Ende, maka pemerintah kolonial juga kemudian menangkap Hatta dan Sjahrir. Sjahrir ditangkap ketika ia sedang menunggu kapal yang akan membawanya berlayar ke Amsterdam untuk menjumpai kekasihnya, Maria Duchateau! Dengan segala hormat kepada Sjahrir, menurut saya konstruksi "lebih radikal daripada Soekarno" dan cerita penangkapan yang dibuat Giebels itu malah membuat Bung Kecil jadi terlihat menggelikan.

Hal menggelikan lainnya dari narasi Giebels, terlepas dari surat permintaan ampunnya yang hingga kini masih misterius, Soekarno diasingkan karena aktivitas politiknya semakin dianggap berbahaya oleh pemerintah kolonial. Giebels mengakui bahwa analisis sosial yang dilakukan Soekarno atas kondisi dan watak bangasanya, lebih realistis daripada yang dilakukan oleh Hatta dan Sjahrir. Itu yang membuatnya lebih bisa menggerakan orang dan mempengaruhi massa. Tentunya, di luar kemampuan orasinya yang memang sangat memikat. Lalu, kenapa Giebels memaksa untuk memberikan penilaian bahwa Hatta dan Sjahrir jauh lebih radikal dan lebih berbahaya daripada Soekarno?! Sebab, bukankah pada uraian yang sama, Giebels juga mengemukakan bahwa alasan pembuangan Hatta dan Sjahrir sebenarnya lebih bersifat preventif, dan itu berbeda dengan alasan yang dibuat pemerintah kolonial atas pembuangan Soekarno. Giebels menulis bahwa "pengasingan sebagai tindakan preventif [sebenarnya] belum ada presedennya". Nah! Lantas, tanpa maksud mengecilkan peran Hatta dan Sjahrir pada masa itu, dimana sebenarnya konstruksi "radikal" dan "revolusioner" yang dimaksud Giebels dalam uraiannya itu? Ia terlihat hanya bermain-main dengan soal labeling saja dan tidak cukup bertanggung jawab memaparkannya dalam sebuah uraian yang konsisten.

Alhasil, alih-alih berhasil membuat seorang Soekarno jadi terlihat menggelikan, jika itu memang maksudnya, dengan uraiannya itu Giebels sebenarnya telah membuat trio Soekarno, Hatta dan Sjahrir sekaligus jadi sama menggelikannya. Atas hal-hal menggelikan semacam ini, orang Yogya pasti akan mengatakan: “edan po piye?” Atau, kalau orang Betawi, mereka pasti akan berujar: “gile nggak tuh?” Dan, saya paham kenapa dulu Joesoef Isak sampai melempar kata-kata pedas atas karya Giebels ini.

Ya, seperti halnya minum obat, maka membaca buku pun harus memperhatikan petunjuk dan aturan pakai, selain sebaiknya harus dengan resep dokter. Dan Hanung sepertinya telah meluputkan keduanya.

Yogyakarta, 6 Januari 2014


Catatan Tambahan:
Saya mempertahankan mengeja nama Bung Karno dengan "Soekarno", dan bukannya "Sukarno", karena ejaan itu adalah ejaan nama orang yang harus dipertahankan sesuai dengan aselinya. Meski ejaan bahasa Indonesia telah tiga kali disempurnakan, namun nama orang sebaiknya dipertahankan seperti bentuk awalnya, agar orang jadi tidak kehilangan konteks sejarah yang melahirkan ejaan itu. Makanya, meskipun Bung Karno menghendaki namanya dieja sebagai "Sukarno", namun saya sendiri bertahan pada ejaan "Soekarno". Bukankah Bung Karno sendiri mempertahankan tanda tangannya yang menggunakan ejaan "Soekarno" dengan alasan sebagai artefak maka tanda tangan tidak bisa diubah? Sebagai pengamat, kita mestinya mendudukan ejaan "Soekarno" juga sebagai artefak bahasa yang harus dipertahankan, dan bukannya manut kepada kehendak si pemilik nama dalam menuliskan ejaannya. Posisi mempertahankan dan menjaga artefak bahasa, menurut saya, jauh lebih penting daripada menuruti kehendak Bung Karno. Makanya saya suka heran dengan orang yang gampang menyalahkan ejaan "Soekarno". Menurut saya, mereka tidak memiliki sensitifitas sebagai pencinta bahasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar